Mengangkat Sauh

Di pelabuhan ini aku mulai merasakan betapa pentingnya dirimu. Tanpa alasan yang jelas, aku mulai merindukanmu di kemudian hari. Di pelabuhan ini aku mulai merasakan betapa indahnya malam ini. Begitu cerahnya langit malam, bintang-bintang berserakan membentuk sebuah tanda baru.

Lebih baik aku mulai bergerak, lebih baik aku mulai berpikir untuk melepasmu. Semua ocehan ini ada benarnya, bahwa aku harus mulai bergerak kepada sang pulau baru. Mengarungi lautan lepas, membawa pada petualangan baru, namun melepas pijakanku dari pelabuhan ini membawa pada kenangan baru.

Di pelabuhan ini, aku mulai mengangkat sauh, kapal ini mulai berlayar. Menuju ke pelabuhan yang lain di pulau yang baru. Dari atas kapal, aku mengucapkan “terimakasih”.

Hari-hari berlalu dengan lambat di atas kapal ini. Waktu menjadi sebuah ilusi bagiku. Kepastian untuk segera berlabuh menjadi sebuah impian. Di atas kapal ini, aku mulai mendaraskan doa.

“Bila memang sebuah pemberhentian menjadi nyata bagiku, maka biarlah aku merasakannya segera. Bila engkau memang menjadi misteri, biarkan aku segera mengetahuimu. Sebab hanya aku dan Dia yang boleh tahu tentangmu. Bila hanya ini doaku, maka segeralah engkau memohon padaNya”

Seiring dengan doaku ini, malam mulai menyingkap langit kembali, kali ini rembulan muncul dengan eloknya. Menggugah mata, memberkaskan cahaya semu di bola mata. Hanya ada sang rembulan dan aku semata, mengumbar rindu dan bertegur sapa. Hingga… cahaya mercusuar nampak membuyar dan fokus.

Pulau baru itu telah nampak, pelabuhan itu juga telah nampak. Kenangan sudah selesai aku tulis, hingga pelabuhan baru itu membuatku harus menambatkan kapal ini.

Sekali lagi, sauh sudah diturunkan. Dalam ucapan syukur, aku berkata “bahagianya bisa bersamamu”.

 

Leave a comment