Exogenesis

Exogenesis

Trilogi kedua dari “Exogenesis”

Oleh: Beda Aruna Pradana

Siang telah berganti malam, aku masih saja berdiam diri melihat sungai yang mengalir di bawah jembatan dekat rumah. Jembatan itu mulai dibangun saat aku masih berumur satu tahun menurut cerita dari Ibuku. Sejak kecil, aku suka bermain-main di jembatan itu bersama teman masa kecil hingga kini jembatan itu ramai oleh hilir mudik kendaraan bermotor. Kini, semua menjadi kenangan saat aku melewati jembatan itu setiap malam. Dan jembatan itu kunamai Jembatan Hitam karena warna cat dari jembatan itu.

Suatu malam, aku mengirim sebuah SMS pada Nina yang berisi sebuah sapaan, memang aku tidak bisa memulai sebuah percakapan melalui SMS yang benar-benar santai. Yang muncul hanyalah perasaan tegang dan grogi karena Nina adalah gadis yang menarik perhatianku selama ini. Menunggu dengan tegang, itu yang bisa kulakukan setelah mengirimkan SMS itu pada Nina. Ah, sebuah pesan dari Nina muncul di Hpku, itu membuatku tegang, dan kusadari betapa konyolnya diriku ini. “Hai juga Adara”, sebuah pesan yang singkat dari Nina yang membuatku senang dan nyaman. Akhirnya aku membuat sebuah percakapan panjang hingga malam dengan Nina hingga akhirnya Nina mengatakan bahwa ia mau tidur dan aku hanya bisa mengucapkan selamat malam padanya. Betapa relanya diriku untuk bertahan demi dia, namun itulah kasmaran.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul sepuluh malam setelah ber-SMS dengan Nina. Namun ini masih malam Minggu dan aku masih memiliki waktu luang hingga siang menjelang. Daripada diam seperti orang tidak punya pikiran, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan malam guna mendapatkan penyegaran pikiran. Langkah demi langkah yang kulewati di jalan kulihat segala realita yang ada, orang-orang tua yang berkumpul di angkringan, warung nasi goreng yang masih buka berisikan pasangan muda yang sedang menikmati malam Minggu, pedagang bakso yang pulang dengan dagangan yang sudah habis, tukang tambal ban yang sedang mengganti ban sebuah sepeda motor, segerombolan anak-anak yang masih memiliki malam untuk bersepeda bersama, lalu lalang sepeda motor dan mobil, dan aku hanya bisa melihat itu. Apa yang kupikirkan adalah mengapa aku tidak bisa menikmati malam ini seperti layaknya kaum muda yang sedang menikmati cinta, namun itu bukan suatu kewajiban sehingga bagiku itu adalah masalah idealisme.

Aku berjalan terus menyusuri jalanan yang masih ramai, dan tak terasa telah sampai pada Jembatan Hitam, jembatan yang bisa melihat aliran sungai jiwa-jiwa yang mengikuti arus kehidupan yang tenang. Begitu ramainya jalanan membuatku ingin berada di pinggir jembatan untuk melihat keindahan yang ada. Dari situ, aku melihat jiwa-jiwa yang sedang duduk pada bangku panjang di pinggir sungai, aku melihat jiwa yang memancing ikan pada sebuah rakit kecil, aku melihat jiwa-jiwa yang sedang bersendau gurau bersama pelita hatinya menikmati sungai yang di terangi oleh lampu neon, dan dibawahku tepat aku melihat sebuah jiwa yang hampa dan tak memiliki kelemahan, jiwa yang mencerminkan diriku, jiwa yang membuatku ingat akan kehidupan.

Kendaraan masih lalu-lalang di belakangku, namun aku merasa sendiri di jembatan ini. Aku masih menjadi diriku, namun lingkungannku serasa menjauh dan mengasingkanku di jembatan ini. Aku rasa malam telah semakin larut seiring aku berdiam memandang panorama yang bisa ditawarkan melalui pinggir Jembatan Hitam. Akupun langsung mengambil HP dan melihat waktu sekarang. Bukan hanya waktu yang kulihat, iseng-iseng aku membuka sms percakapan dengan Nina. Sebuah senyum yang bisa kurasakan pada bibirku, sebuah senyum yang bisa menghangatkan hati atau sebuah senyum yang menyatakan kepolosanku yang terlalu tergesa-gesa mengucapkan rasa sayang padanya yang membuatku menjadi terlalu berharap. Aku masih mengingat sore itu, sore yang mengingatkanku akan kepolosanku, sore dimana aku melepaskan maksud hati ini padanya. Hanya sebuah senyuman dari hati yang tegar yang bisa kuraih pada akhir sore itu, aku tidak bermaksud untuk membuatnya bingung dan memilih yang salah, aku hanya ingin mengatakan satu hal itu. Setetes airmata jatuh dari mata kananku, betapa cengengnya diriku berharap pada sebuah kehidupan semu yang dapat memberikan kesenangan sesaat yang dipuja-puja oleh diriku. Segera kumasukkan saja Hpku ke dalam kantong celana daripada membuatku harus menenggelamkan diriku ke dalam sungai ini selamanya.

Malam semakin larut, lalu-lalang kendaraan semakin surut. Akupun masih terdiam merenung di pinggir jembatan. Hingga suara hentakan tongkat membuatku terbangun dari lamunanku. “Tok, tok, tok, tok”, suara hentakan tongkat yang dibawa sambil berjalan yang menarik perhatianku. Kuikuti darimana suara itu berasal dan kutengok ke arah kiri sesaat aku terdiam dan membelalakkan mataku dengan pandangan yang belum pernah aku lihat. Seseorang berjubah hitam panjang yang terurai sobek-sobek perlahan mendekat kepadaku. Jubah itu menutupi seluruh tubuhnya dari pangkal kepala hingga ujung kaki, dan hanya terbuka di bagian wajah. Wajahnya seperti bukan wajah seorang manusia, matanya menyorot dengan tajam ke arahku, senyumnya yang menyeringai dengan gigi yang tajam seperti serigala menambahkan perkawakan yang menakutkan ditambah dengan luka-luka sayatan di wajahnya yang putih pucat. Aku terintimidasi, aku melangkah mundur ke belakang karena ngeri, dengan sebuah tongkat sabit yang dibawanya mengingatkanku akan kematian. Aku ingin berteriak minta tolong namun semua yang ada disekitarku menjadi tiada seorang pun. “Janganlah takut akan kematianmu sendiri, sebab akulah kematian itu.” kata pria misterius itu padaku. Aku tak bisa memahami perkataannya, apakah benar ia adalah takdir kematianku, namun kenapa ia muncul di saat ini, apakah aku akan mati sebentar lagi. “Apakah kamu tidak memahamiku? Akulah dirimu yang terluka, akulah dirimu yang memiliki pikiran terluar dari Astral kehidupan, tetapi kamu sudah menyadari itu semenjak kamu berpikir tentang kehidupan terluar.” jawabnya dengan suara yang mendesis seperti ular derik. “Tunggu, bukankah aku memiliki pikiran atas kehendak diriku sendiri dan aku tidak memahami apa yang kau maksud tentang kehidupan terluar?” jawabku dengan meyakinkan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi.

Dengan cepat, pria misterius itu menusukkan tangannya yang penuh dengan cakar tajam itu menembus kepalaku. Rasanya sangat sakit, menderita, dan bahkan aku merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Cakarnya menembus otak dan seperti merogoh sesuatu dari kepalaku. Ketika ia menarik kembali cakarnya dari kepalaku, bukanlah darah yang keluar dari luka kepalaku, namun semua kenangan yang ada. Memori kenangan itu berbentuk butiran pasir yang menjadi beberapa fragmen dan menayangkan serangkaian kenangan yang ada. Aku hanya terdiam memandangi pasir-pasir kenangan itu, ribuan kenangan yang telah kulalui muncul begitu saja di depan mataku. Sungguh aku tak menyangka begitu banyak kenangan yang telah tercipta, begitu banyak kenangan yang indah, begitu banyak kenangan yang keluar dari kepalaku.

Pasir kenangan itu mengucur keluar seperti darah segar, semua tumpah menjadi hamparan kenangan di tanah. “Aku akan menunjukkan kenyataan itu, aku akan menunjukkan sebuah pemikiranmu di depan semua pemikiranmu yang tertutup oleh cinta dan kasih.” kata pria misterius itu. Ia mengepalkan tangannya, semua pasir yang tumpah melayang menggumpal menjadi satu, seolah ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasir itu. Pasir kenangan itu menggumpal dan membentuk sebuah substansi, bentuk itu bagiku tidak asing. Bentuk itu adalah jam pasir. Besarnya hampir membuat kepalaku mendongak untuk melihat puncaknya. Ia memutar balik jam pasir besar itu hanya dengan satu tangannya dan ia berkata, “Inilah Exogenesis.”

Seketika semua menjadi ruang hampa, aku melayang di antara ketiadaan dan kekosongan. Ketakutan mulai menyelimuti diriku, karena tidak ada apapun yang bisa kuraih ataupun kulihat. Tiba-tiba sebuah titik cahaya kecil mendekat padaku, cahaya itu memancarkan kehangatan yang sebelumnya belum pernah kurasakan. Rasanya hangat dan membuat hati tenang, seperti duduk bersama seorang gadis yang sungguh membuatku jatuh cinta dalam hatiku yang terdalam. Rasanya seperti anganku untuk berdua bersama Nina terwujud, namun itu dalam bentuk cahaya kecil ini.

Jariku mencoba untuk menyentuh cahaya itu, perlahan-lahan aku menyentuh cahaya kecil itu. Ketika jariku menyentuh cahaya kecil itu, perlahan-lahan ruang hampa ini berubah menjadi sebuah kamar yang penuh dengan rak buku. Rak buku itu hampir menutupi seluruh ruangan terkecuali sebuah jendela besar model kolonial yang ada di sebuah sudut ruangan. Buku-buku itu berjejer sangat rapi bahkan sangat rapat. Buku-buku itu bertuliskan tanggal pada setiap judulnya, tanggal-tanggal itu nampaknya tak asing bagiku. Ada sebuah buku yang menarik perhatianku di bawah kolong rak, buku bertuliskan tanggal 6 November 2011. Sampul buku itu masih sangat bagus, bahkan bisa dibilang seperti buku yang mahal. Karena penasaran, aku langsung membuka halaman tengah buku yang tebal itu. Bukan tulisan yang kulihat, namun seperti sebuah gambar, bahkan seperti film. Aku melihat diriku sendiri duduk di kursi ruang tamu, memegang hp dan nampak sedang membalas sms dari seseorang. Bahkan aku terlihat sangat senang dan meluapkan rasa kepuasan. Aku menjadi penasaran apa yang sedang kulakukan disana, tetapi perlahan-lahan gambar itu semakin mendekat jelas pada diriku. Rupa-rupanya aku sedang ber-sms dengan Nina, aku teringat! Aku ingat, aku ingat tanggal itu, itu tanggal dimana aku merasa sangat senang saat sms-an dengan Nina.

“Bluk!” aku menutup dengan keras dan cepat buku itu, dengan penuh perasaan kaget. Rupanya ini adalah buku yang berisi kenangan yang ada selama ini, aku bisa menduga isi semua buku yang ada di rak raksasa ini. Aku menjadi merinding, aku bisa melihat segala kenangan yang pernah kulalui, bahkan aku melihat dari luar diriku. Yang berarti aku melihat diriku sendiri dari sudut pandang orang lain, namun melihat dengan pikiranku sendiri.

“Apakah kamu menikmati itu semua?” tiba-tiba pria misterius itu muncul lagi dengan memakai baju tuksedo rapi, namun wajahnya masih sama. “Bukankah menyenangkan bila kamu dapat melihat lagi kenangan yang telah kamu lalui?” tanyanya dengan nada yang menyeramkan. “Sebenarnya dimana semua ini, apakah ini adalah ingatan yang menjadi nyata, dan siapa kamu?” aku bertanya pada pria misterius itu.

“Akulah astral kehidupanmu, dimana semua yang melekat pada dirimu saat ini adalah aku, namun aku bukanlah dirimu.” Jawabnya dengan ketus dan penuh keyakinan layaknya seorang pahlawan.

“Kau bisa menyebutku, Homunculus.” seru pria yang menyebut dirinya sebagai Homunculus.

“Silahkan menikmati semua kenangan ini, rasakan candunya di setiap tanggal kehidupanmu.” Kata Homunculus sambil menunjuk pada semua rak buku itu.

“Apa maksudmu membawaku pada semua ini? Kenapa aku harus melihat lagi semua kenanganku ini?” tanyaku pada Homunculus. Belum ada beberapa detik aku bertanya, dia menghilang menjadi hamparan debu yang tertiup angin. Tak ada alasan baginya untuk menjawab pertanyaanku.

Memang benar kata Homunculus, aku merasa kecanduan untuk membuka setiap buku kenangan ini. Setiap buku yang kubuka, aku merasa bahagia, sedih, takut, marah, dan bangga pada setiap kenangan yang kulihat. Dimana aku melihat diriku sendiri yang membanggakan, merasakan kesenangan disaat jatuh, memperlhatkan keburukan diriku, bahkan berbohong pada diri sendiri. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk melihat setiap kenangan.

“Itulah manusia, selalu menyangkal akan masa lalu. Namun, apakah engkau mempercayai adanya harapan?” seru Homunculus dengan membawa sebuah buku. “Aku akan memberimu buku hitam ini, lihatlah, maka itu akan menjadi jawabanmu atas harapan akan seseorang..” katanya sambil menyerahkan buku itu. Kulihat buku ini berwarna hitam legam, seperti selalu dibaca dan tidak memiliki judul. Lalu Homunculus menyayat sampul buku itu dengan satu cakarnya hingga membuat goresan berpendarkan cahaya. Goresan itu membuat buku itu berwarna merah darah dan dari goresan itu membentuk tulisan “Exogenesis: Unintended, Redemption, Resistance, & Undisclosed Desires.”

Aku tidak memahami semua maksud dari judul itu, namun aku merasa buku ini berbentuk seperti kitab suci. “Buka lalu bacalah, kau akan menemukan jawaban atas permasalahan yang sedang kau pikirkan dengan orang itu”, bujuk Homunculus dengan senyum menyeringainya. Aku terkejut, ia bisa membaca pikiranku. “Kau tidak bisa menyembunyikan apapun bahkan pikiran dan hati nuranimu sekalipun. Sekali lagi aku bertanya, apakah kamu masih percaya pada harapan bila aku bisa menunjukan seluruh masa depanmu pada buku yang kau pegang itu?” kata-katanya membuatku semakin takut, tegang, dan mengoyak seluruh harapan yang ada. “ Aku tidak, aku tidak perlu melihat lebih jauh tentang masa depanku, aku masih bisa mengubah arah.” Jawabku sambil melemparkan buku itu kearah Homunculus.

Ia pun mengambil buku yang kulempar itu dengan tersenyum dan berkata, “manusia bodoh, aku memberimu jalan untuk memudahkan kehidupanmu. Namun aku akan membukakan halaman kebingungan, dimana kamu hanya akan menantang dunia dengan harapan-harapanmu.” Seketika ia membuka halaman itu, kami kembali lagi ke Jembatan Hitam. Namun waktu terhenti dimana semuanya terdiam kaku. Sambil menutup buku itu ia berkata, “sekarang tuliskanlah segala pemikiranmu yang aneh itu dalam buku ini, dan aku akan kembali untuk mengakhirinya sesuai tanggal yang ada pada halaman paling belakang buku ini.” Ia memberikan buku itu padaku. Semua halaman buku itu ternyata kosong, namun judulya berubah demikian: “Exogenesis: seberkas cahaya harapan”. Pada halaman paling belakang, tertera tanggal 25 Mei 2067.

“tugasku sementara selesai, aku menunggumu pada tanggal itu.” Kata Homunculus dengan berubah menjadi kabut dan hilang dari hadapanku. Buku ini, apa yang harus kutulis? Apa aku bisa mengisinya sebelum tanggal ini? Aku hanya memberikan senyum saat melihat buku ini dan berkata, “aku harap buku ini dapat menerangi jalan yang gelap dalam dunia”.

Leave a comment