Perlawanan Simetri

Perlawanan Simetri

Oleh: Beda Aruna Pradana

Sebuah cerpen trilogi bagian pertama

Aku terus berlari menghempas semak belukar di jalan yang aku tempuh, berlari dan terus berlari, dan kamu menunggu berdiri di ujung tebing itu.. Dengan tarikan napas terakhir aku berlari semakin kencang untuk bertemu denganmu. “hei, tunggu aku..!”, teriakku padanya agar tetap menunggu dan memberitahu bahwa aku datang kepadanya.

            Rasanya, dunia ini milik berdua, hanya aku dan dirimu. Seperti dalam film romantis, aku berlari ke arahmu, menyatakan setiap isi hatiku agar selalu bersamamu. Tetapi, entah mengapa ujung tebing itu semakin jauh dan sekonyong-konyong semakin sulit untuk dicapai. “hei, Nina..!”, aku kembali memanggilnya agar ia menoleh ke arahku, tetapi ia hanya terdiam. Aku berlari semakin melambat karena mulai kehabisan tenaga, aku mulai meneteskan air mata, aku tidak dapat meraih tangannya. Jarak semakin menjauh dan tanah yang kupijak menjadi ruang hampa. “tidaaaakk..!!”, aku kembali berteriak penuh putus asa, semua hilang, semua musnah, hanya suara tawa diriku yang kudengar untuk mencemooh kebodohanku. Aku tak dapat merasakan tanganku, kakiku, bahkan aku menjadi bisu. Dari kejauhan terdengar suara ledakan yang mendekat ke arahku, ledakan itu membawa api biru mendekat ke arahku dan aku…

“PIP PI P IP PI PIP PIP PIP PIP PIP…!” suara alarm

            “Hei bangun, dasar pemalas! Dasar penikmat dunia mimpi!”, Adara sudah memaki padaku di pagi ini dan selalu begitu. “Lalu kenapa? Apa aku tidak boleh bermimpi?”, tanyaku pada Adara. Adara menjawab, “Jelas tidak, untuk apa bermimpi? Mengobati rasa duka kenyataan?! Apakah kamu selalu bermimpi untuk lari dari kenyataan yang ada! Lihat saja realita yang ada Bung! Hanya sebuah kehidupan yang berjalan dan tidak ada mimpi untuk menyesali yang sudah terjadi!” Begitulah Adara, ia selalu menentang apa yang aku lihat sebagai mimpi, sebagai bentuk impian, sebagai bentuk keindahan, sebagai bentuk rencana yang aku rasa akan menjadi kenyataan. “Sudahlah, daripada berdebat soal mimpi busukmu itu, lebih baik langsung sarapan saja..” sentak Adara. Dengan penuh rasa kesal, aku bersama Adara langsung sarapan untuk menyiapkan hari yang aku rasa akan menjadi indah karena aku akan bertemu dengan Nina untuk mengatakan sesuatu.

“Heh, kenapa melamun?! Apakah kamu masih memikirkan rencanamu dengan Nina nanti? Cih, terlalu berharap cinta” tanya Adara padaku dengan mata yang sinis. Penuh kekacauan, penuh kebingungan, dan penuh tanya, itulah rasa hatiku setelah Adara bertanya seperti itu. Rasanya ingin meyakinkan diri, namun aku juga takut bila Adara berkata benar. Aku pun menjawab, “tak ada yang salah dengan pengharapan, bila nantinya aku menerima hasil yang tidak sesuai harapan maka aku akan tetap menerimanya dengan senyuman.” Dengan senyum sinis, Adara menjawab, “oh, harapan..?” “Ya! Dan aku yakin itu!” aku menjawab ocehan Adara dengan tegas. Nampaknya Adara mulai diam dan menatapku dengan tatapan tajam sambil meminum secangkir kopi. Entah perasaan tidak enak mulai muncul setelah Adara menatapku. Dan Adara pun mengatakan satu hal padaku, “lihat saja nanti..”

Sebuah pesan pendek muncul di telepon genggamku, itu dari Nina mengatakan bahwa ia bisa bertemu sesudah ia melakukan persiapan acara fakultasnya. “Lihat, ia bisa meluangkan waktunya denganku.” Kataku pada Adara. “Cih, kita lihat saja nanti..” jawab Adara dengan memalingkan muka dariku. Aku pun bersms dengan Nina, hampir beberapa kali sms dengan maksud menentukan tempat dan waktu pertemuannya. Adara sendiri hanya terdiam di sofa ruang tamu, sepertinya ia memikirkan sesuatu yang bisa membuatku pesimis untuk bertemu dengan Nina bila aku terus-menerus melihat Adara di ruang tamu.

Matahari sudah tepat di atas kepala, aku bersiap bertemu Nina di sebuah sudut halaman fakultasnya. Nampaknya aku melihat sisi baik Adara, ia membantuku mengeluarkan sepeda motor dari garasi saat aku sedang berganti pakaian. Saat aku siap berangkat, aku terkejut Adara mengatakan, “semoga beruntung kawan, semoga Tuhan tahu jalan terbaik untukmu.” Dengan senyum aku mengucapkan terimakasih pada Adara walaupun nampaknya ia malu-malu untuk menerima ucapan terimakasihku.

Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan dengan Nina, aku masih memikirkan ucapan Adara yang masih melkat di pikiran, yaitu terlalu berharap. Memang benar perkataannya, aku berharap Nina mau menerimaku sebagai kekasih saat aku mengatakan padanya. Hanya berharap dan berdoa yang bisa aku lakukan selama perjalanan.

Sesampainya di tempat tujuan, aku menunggunya di sebuah kursi taman, tiba-tiba sebuah sms dari Nina masuk dan mengatakan, “ tunggu ya, kelihatannya aku masih lama nih..” Saat aku akan menekan tombol “balas” pada telepon genggamku, Adara muncul di depanku dan mengatakan, “harapan..? itukah yang kau maksud..? kesabaran itu sama dengan harapan..?” “Ah, lalu kenapa? Aku mau menunjukkan bahwa aku setia padanya..” jawabku pada Adara. Dengan tegas Adara mengatakan, “Baiklah, tunggulah dia, buktikan bahwa kau benar suka padanya.. namun kukatakan satu hal, terimalah keputusannya..” Aku terdiam mendengar perkataan Adara, ia seperti mengetahui masa depan, ia seperti peramal, dari nada bicaranya yang pesimis, membuatku takut.

Aku pun menunggu Nina dengan Adara yang diam duduk di sampingku, ia hanya memandangi sebuah koin lima ratus rupiah yang ia pegang. Bukan maksudku untuk ingin tahu, tetapi mengapa ia hanya memandangi koin itu sambil membolak-balik kedua sisi koin itu. “Apa yang kau lihat?” tanya Adara padaku. “Kau bisa lihat kedua sisi koin ini, satu sisi bertuliskan angka 500, dan sisi lain bergambarkan burung Garuda, apa yang kau ketahui?” Adara bertanya lagi. “Aku melihat bahwa seluruh kehidupan ini mempunyai dua sisi, entah berlawanan atau berdampingan, namun kedua sisi itu melengkapi siklus hidup yang ada, apakah benar?” jawabku pada Adara dengan ragu-ragu. “Hahaha, nyaris tepat.. Namun yang terpenting bagaimana kamu melihat kedua sisi koin ini.. cobalah pegang koin ini,” jawab Adara sambil menyerahkan koin itu ke tanganku.

Aku langsung mengamati koin itu, tak ada yang aneh dengan melihat kedua sisinya, saat aku akan mengembalikan koin itu pada Adara, ia sudah tidak ada di sampingku. Tersentak, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku. Adara berdiri agak jauh di depanku bersama Nina, ia memegang tangan Nina dengan mesranya. Aku tak menyadari kalau Nina ada di depanku, aku berusaha berdiri namun kakiku seperti lumpuh tak dapat digerakkan, tangan pun juga tidak bisa digerakkan. Nina akhirnya berpelukkan dengan Adara dengan mesranya di depan mataku. Tak bisa kupercaya apa yang telah Adara lakukan padaku, emosi dalam diri bergejolak untuk melepaskan rasa lumpuh ini, namun untuk berkata saja sudah tidak bisa seperti tidak mempunyai pita suara. Tubuhku ini terpaku kencang sekali di bangku taman sial ini. Menggerakkan tubuh ini satu senti saja tidak bisa, aku mau memanggil Nina juga tidak bisa. Dan Adara memandangku seolah menertawakan diriku, ia berkata, “ yang terpenting, bagaimanakah kamu melihat kedua sisi koin..” Mata masih bisa bergerak, aku melihat koin yang masih kupegang, koin itu berlumuran darah begitu juga telapak tanganku.

Aku hanya bisa menutup mata saat Nina mencium Adara tepat di bibirnya, dalam kesedihanku aku hanya bisa menginginkan lepas dari jerat dunia ini. Entah karena apa aku bisa merasakan dunia ini menghentikan gerak yang kulakukan. “AH, SIAL..!” sebuah kata yang muncul dari mulutku dengan begitu lantangnya..

Tiba-tiba semua menghilang, Adara, Nina, Taman, dan semuanya, semua menjadi hampa..

Aku terus berlari menghempas semak belukar di jalan yang aku tempuh, berlari dan terus berlari. Terus berlari dan itu yang aku lakukan di sebuah lembah ini, aku melihat sebuah jurang yang dalam di kananku dan aku masih bertanya sedang apa aku ini..

Aku terjatuh di tanah berbatu, darah mengucur segar di sekujur tubuhku. “Hei bodoh, apa yang kau lakukan? Menangis? Jelas kamu tidak bisa mengatasi pergulatan hatimu dengan Nina..” Adara berkata padaku dengan muncul tiba-tiba di depanku. Tak bisa kujawab pertanyaan Adara, aku terlalu takut untuk menjawab keragu-raguan ini. Adara benar, aku adalah pecundang yang hanya bisa berharap pada cinta yang ikhlas, aku hanya pecundang yang tak bisa berani mengatakan secara pasti, aku hanya pecundang yang tak mau menerima kenyataan, dan aku hanya pecundang..

“Hei, bangunlah.. ayolah..” ajak Adara untuk membuatku berdiri. “Coba lihat koin yang masih ada padamu, lihatlah kedua sisinya,” kata Adara sambil menunjuk pada koin yang ternyata masih ada di tanganku. Di koin itu tergambar wajahku, bahkan di kedua sisinya, ini membuatku kaget dan bingung. “di satu sisi, koin itu menunjukkan dirimu, dan disisi lain menunjukkan dirimu yang lain yaitu aku..” kata Adara dengan nada yang tegas. “Sisi lain diriku adalah kamu? Dan sebenarnya siapa kamu? Mengapa kamu bisa menebak masa depan dan isi hati dalam diriku? Jawab Adara! Siapa kamu!” tanyaku pada Adara dengan lantang.

Adara pun menjawab dengan santai, “siapa diriku itu tidak penting, sebab aku hanya berdiam di dalam pikiran bawah sadarmu, aku bukanlah sebuah kenyataan, cintaku dengan Nina yang kau lihat juga bukan kenyataan, semua hanyalah ilusi.” Aku terdiam, selama ini Adara hanyalah pikiran bawah sadarku, dan aku baru tahu itu. Aku pun menjawab Adara dengan lantang,” bila kamu adalah diriku, kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal! Kenapa kamu tidak memberitahuku jalan mana yang harus kulalui sehingga aku tidak salah langkah terutama untuk Nina.” Adara hanya tersenyum melihatku dan berkata,” tetaplah berjalan seperti biasa, aku hanya akan menolongmu saat kamu melakukan sesuatu yang tidak kamu sadari adalah keputusanmu sendiri, dan tetaplah yakin pada keputusan yang kau pilih..”

“PIP PI P IP PI PIP PIP PIP PIP PIP…!” suara alarm

Hah, aku terbangun dari mimpi aneh. Ternyata yang kualami hanya mimpi, tetapi terasa nyata. Aku masih terpikir akan Nina, tapi aku yakin ini sebuah proses yang harus kunikmati. Untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi, aku menatap cermin yang ada dikamar. Aku hanya melihat bayangan diriku, dan aku tersenyum begitu juga bayangan Adara di cermin. Aku berpikir ini bukan mimpi, namun dunia nyata..

Leave a comment